This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

My Love n me Slideshow: Martono’s trip to Jakarta, Jawa, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Create your own stunning free slideshow from your travel photos.

Sabtu, 14 Januari 2012

bunga rampai

bunga rampai adalah file yang berisi motivasi keislaman
jika tertarik sailahkan download di sini

Minggu, 08 Januari 2012

Cerita super hero

Martono Alfaritsy, S.Pd

Jujur aja, punya hero kadang bikin kita pede. Ada panutan yang bisa dijadiin rujukan. Sejauh mana kita harus merasa perlu punya hero?
“Waktu kecil, saya punya hero bernama Spiderman. Abisnya, tuh hero sakti dan baik hati,” aku Donni pada SoDa saat nongkrong di sebuah pusat pertokoan di Jakarta.
Ternyata kawan kita ini menyukai salah satu tokoh komik ‘lulusan’ Marvel. Sama seperti kita waktu kecil. Bukan hanya Spiderman, tapi juga ada banyak di antara kita punya hero seperti Batman, Fantastic Four, Gundala, Flash Gordon, termasuk jawara silat lokal macam Jaka Sembung, Jaka Gledek, Joko Tingkir. Why?
“Kalo kita punya hero, kita jadi bisa ngikutin teladannya. Jadi rujukan kita. Panutan kita,” Donni ngasih alasan.
Memang sih, seorang panutan akan membuat kita merasa tenang dan merasa punya rujukan. Bahkan kita akan memposisikan diri sebagai bagian dari hero tersebut. Kelihatannya sih wajar en sah-sah aja. Karena siapa pun pasti merasa terinspirasi dari sesamanya. Manusia satu sama lain saling memberi inspirasi.
Ahmad Dhani yang komandan Dewa 19, konon kabarnya punya idola Bung Karno. Itu sebabnya, dalam beberapa penampilan doi sering menggunakan atribut yang mencirikan sosok Bung Karno (jas dan peci khasnya). Dengan begitu, kayaknya Dhani Dewa kepengen banget ‘disejajarkan’ dengan Bung Karno. Atau paling nggak, ngikutin semangatnya dari tokoh hero pujaannya itu.
Teman kita juga ada yang ngefans banget sama hero bernama lengkap Soekarno ini, “Karena dia presiden sekaligus negarawan yang dekat dengan rakyat,” papar Andri, siswa SMA Karya Pembangunan Bandung.
Andri juga menekankan bahwa punya hero itu perlu. Untuk apa? “Untuk jadi panutan dalam hidup kita,” jelasnya.
Hal senada soal hero dikatakan Edi, mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, “Bisa mencontohnya, kemudian memberikan yang terbaik bagi seluruh umat manusia.”
Jadi panutan? Bisa jadi. Karena jujur aja kita sendiri sering bingung. Dalam hidup ini selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Belajar dari orang yang kita anggap lebih baik kayaknya lebih efektif. Kita bisa meniru apa yang dilakukannya. Pendek kata, memang tuh hero jadi panutan en rujukan kita dalam menjalani hidup ini.
Itu sebabnya, kayaknya bener deh pendapat teman kita yang satu ini, “Punya hero perlu, tapi jangan yang imajiner. Kita tidak butuh pahlawan yang hanya sekadar untuk dikagumi. Tapi, kita butuh sosok-sosok nyata yang kiprahnya bisa diteladani. Yaitu pahlawan yang dapat memproduksi pahlawan-pahlawan baru dari remaja-remaja tersebut,” jelas Titok, mahasiswa UGM Yogyakarta dengan panjang lebar.
Meneladani sang hero
Seharusnya memang demikian. Seorang hero bisa memberikan semangat kepada ‘pengikutnya’. Kita pasti tahu bagaimana kuatnya kharisma Tjut Nyak Dien ketika berjuang menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang melawan Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Semangatnya mampu menyebar di dada para pejuang Aceh.
Kalo sekarang mungkin yang jadi hero adalah orang yang bisa memberikan inspirasi dalam hidup kita. Untuk lebih percaya diri, untuk lebih bisa tenang menjalani hidup karena merasa ada orang yang mampu dijadikan rujukan dalam berbuat dan bertindak. Karena jujur aja nih, kita sering ingin banget dapetin ‘pembenaran’ dan dukungan atas apa yang kita lakukan. Salah satunya dengan kita mengikuti gaya hero yang kita teladani.
Sekalian bisa bilang ke orang-orang, bahwa apa yang kita lakuin memang ada teladannya. Dan itu adalah hero kita. Sehingga orang lain bisa ngeh dengan apa yang kita lakuin dan menganggap wajar karena ngikutin idola kita yang udah teruji keteladanannya di mata banyak orang.
Dan yang terpenting agar kita bisa meneladani sang hero, maka hero yang kita pilih adalah yang benar dan bagus. Yang tentunya lebih baik dari kita. Bisa dipercaya, bisa dijadikan rujukan dalam kebaikan. Terlebih, seorang hero tuh harus mampu memberi inspirasi yang baik buat kita. Itu sebabnya, menurut Fendy, salah seorang mahasiswa di Surabaya ngasih penjelasan soal tipe hero yang diinginkannya, “Tipe hero yang superhero, pokoknya yang bisa rejuvenation of mind (meremajakan kembali pemikiran -red).”
Hmm.. jika tipe hero yang diinginkan seperti, tentu bukan yang ecek-ecek dong ya. Kelasnya lain. Berarti tuh hero kudu menjadi inspirator ulung bagi setiap calon pengikutnya. Inspirator dalam melakukan kebenaran dan kebaikan tentunya.
Hero juga manusia
Seringkali kita membutuhkan dan menganggap bahwa hero tuh kudu kuat, sakti, baik hati, nggak pernah salah, dan nggak pernah mengecewakan. Tapi inget lho, hero juga manusia, yang bisa berbuat salah sekaligus mengecewakan kita. Tentu, jika kita memilih hero yang asal bungkus aja sesuai kriteria rasa suka kita. Bukan menyeluruh penilaiannya. Nggak objektif, tapi kita cenderung subjektif.
Kayak gimana sih sosok hero yang bisa dijadiin teladan en panutan kita?
“Intinya sih yang baik-baik. Tapi yang paling penting merakyat. Mo ganteng, pinter atau apapun selama tidak merakyat ya percuma,” Andri ngasih pendapat.
Tapi, ngomong-ngomong, siapa sih hero kamu saat ini Ndri?
“Saya memilih SBY. Soalnya kebijakan dia menaikan harga BBM itu merupakan keputusan yang baik. Dia menyelamatkan bangsa dari kebangkrutan di masa depan. Daripada diambil terus ama penyelundup karena harga di kita terlalu murah,” ujar Andri semangat. (Nah lho. Kalo gitu definisi merakyat menurutmu apa dong, Andri?)
Oke lah, tiap orang memang punya selera masing-masing buat nyari hero. Tapi mbok ya pilih-pilih en pilah-pilah gitu lho (untuk soal ini, silakan liat deh di Bidik 2, oke?).
Deden, yang masih tercatat sebagai siswa sebuah SMA di Bandung ngasih komentar soal hero yang ternyata nggak selamanya baik, “Pasti kecewa. Tapi semua itu relatif. Tergantung kesalahannya. Kalau parah ya cari panutan baru,” ujar Deden ringan aja.
Mungkin itu juga yang menyebabkan tiap orang bisa punya hero lebih dari satu atau berganti hero. Mungkin saja yang tadinya dianggap bajingan, tapi suatu saat jadi superhero. Sebaliknya, sosok yang tadinya dipuja bak mahluk setengah dewa kayak di lagunya Bang Iwan Fals, eh bisa jadi esok atau lusa ketika berbuat salah dan jahat, langsung turun derajat, bahkan berganti peran menjadi sosok yang paling dibenci di dunia. Mudah saja bukan?
Jadi, nggak perlulah kemudian kita meyakin-yakinkan diri bahwa hero juga manusia, nggak lepas dari salah dan dosa. Lalu kita menganggap wajar aja. Ah, kalo pernyataannya kayak gitu mah, namanya mengampuni diri sendiri atas pilihan yang salah.
Itu sebabnya, meski punya hero itu perlu, tapi kudu jaga diri dari godaan menjadikan sosok biasa untuk disulap jadi hero, apalagi superhero. Mereka yang jadi hero memang manusia. Itu sebabnya kudu memilih sosok hero yang paling sedikit kesalahannya. Atau paling nggak memang manusia pilihan sebagaimana Rasulullah saw. Insya Allah bisa lebih membimbing kita dijalan yang benar. Oke?

Melawan Diri Sendiri


Martono, S.Pd

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan atas diri sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, dan semua beban yang menambat diri di tempat start.
Jerih payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih lewat niat yang ternoda.
Pelari yang berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal karena sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang belari untuk memecahkan rekornya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan menyusulnya atau tidak. Tak peduli di mana dan siapa lawan-lawannya. Ia mencurahkan perhatian demi perbaikan catatannya sendiri.

Kita Adalah Apa yang Kita Lakukan Saat Ini

Martono, S.Pd, C.M,Sc

"Peneliti Lepas"
Saya sering mendengar orang bergumam. “Oh, dulu kalau tidak ada saya, itu tidak akan jadi!”, “Walah, dulu saya, bekerja keras untuk membantu membuat ini dan itu. Gak ada uangnya!”, dan yang sejenisnya. Tidak ada yang salah dengan fakta ini. Hanya saja, kalau orang yang bergumam tersebut masih melakukan hal yang sama akan sangat bagus. Inilah yang dalam Islam disebut dengan istiqomah, konsisten.
Mengapa penting? Masa lalu tidak bisa diputar. Benar, masa lalu mempunyai kontribusi kepada masa kini, tetapi kita tidak bisa hidup hanya dengan membanggakan masa lalu. Kita adalah apa yang kita lakukan sekarang. Seseorang boleh mengaku dulunya santri atau anak kyai, tetapi kalau sekarang menjadi preman, maka dia adalah preman. Tidak sedikit contoh yang bisa kita lihat di dunia nyata. Banyak orang sukses pada masa lalu, tetapi karena lupa bahwa umur bisa bertambah dan popularitas bisa surut, masa depan tidak direncanakan dengan baik. Saya teringat cerita kawan tentang seorang penarik becak di salah satu wilayah di Yogyakarta yang mendapatkan uang sangat banyak dari turis asing yang sering dia antar. Uang tersebut seharusnya bisa dilakukan untuk mengubah nasibnya dengan dijadikan modal usaha, salah satunya. Apa yang dilakukan penarik becak tersebut? Segera setelah mendapatkan uang tersebut, gaya hidupnya berubah. Tidur di hotel. Setelah habis uangnya, kembalilah dia sebagai penarik becak. Tetap menekuni pekerjaan di sini tentu saja bukan istiqomah. Dalam istiqomah ada komponen hijrah, pencarian status yang lebih baik.
Sebaliknya, seorang dapat mempunyai masa lalu yang kelam, tetapi kalau sekarang dia menjadi ustadz, dia adalah ustadz. Banyak contoh juga yang telah ditayangkan di dunia nyata. Mantan bromocorah atau preman yang kini menjadi ustadz adalah salah satunya.
Sindrom nostalgia inilah yang seringkali menghambat orang untuk berkembang dan maju. Jangan mentang-mentang kita pernah merasa berjasa, kemudian gila hormat, minta dihargai tanpa prestasi apa-apa untuk saat ini. Orang yang hidup di bayang-bayang masa lalu ini biasanya cenderung menjadi pemberontak dan justru tidak melanggengkan apa yang telah dia kerjakan pada masa lalu tetapi seperti menagih bayaran lebih atas yang telah dilakukan meskipun telah dibayar sebelumnya.
Kalau kita melakukan kebaikan dengan niat lurus, nampaknya hasilnya akan berbeda. Tidak perlu menyuruh orang mengingat kita, menghargai kita. Kebaikan kita akan selalu diingat, orang akan menghargai kita, meskipun bukan itu tujuan kita berbuat baik.
Jangan-jangan kita juga termasuk orang yang terlalu mencintai masa lalu dan lebih memilih hidup di bawah bayang-bayangnya. Kalau demikian halnya, kita tak ubahnya sopir kendaraan dengan kaca depan tidak tembus pandang tetapi mempunyai kaca spion yang terlalu besar. Mudah-mudahan tidak!

Sabtu, 07 Januari 2012

Melawan Diri Sendiri


Martono Al-faritsy, S.Pd
(Dosen Manajemen pada Kampuz STIM Boalemo Prov. Gorontalo)
Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan atas diri sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, dan semua beban yang menambat diri di tempat start.
Jerih payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih lewat niat yang ternoda.
Pelari yang berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal karena sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang belari untuk memecahkan rekornya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan menyusulnya atau tidak. Tak peduli di mana dan siapa lawan-lawannya. Ia mencurahkan perhatian demi perbaikan catatannya sendiri.